Sunday, July 26, 2009

alun-alun Bandung

Taman kota atau ruang publik terbuka adalah salah satu fasilitas umum sebuah kota sebagai hak warga kota yang harus disediakan oleh pemerintah kota. Fasilitas ini sudah menjadi peradaban dan kebudayaan di setiap negeri, termasuk sejak kerajaan-kerajaan nusantara silam hingga sekarang ini. Meski ruang publik tak pernah lepas juga dari fungsi simbolik kekuasaan penguasa wilayah, namun dalam setiap masanya ruang berbentuk lapangan luas di sekitar pusat pemerintahan sudah dirasakan sebagai milik warga, atau bersifat publik.

Di Indonesia, lapangan luas di depan pemerintahan, kecamatan atau kabupaten/kotamadya, disebut sebagai alun-alun. Sebuah lapangan luas dikelilingi oleh pusat pemerintahan (kantor camat/bupati/walikota), pasar, penjara (atau kantor polisi/militer/keamanan) dan tempat peribadatan. Sebuah pemintakatan (zoning) arsitektur kota yang sudah berabad-abad umurnya.

Dahulu kala, para raja menggunakan alun-alun tersebut untuk kepentingan formal pemerintahannya, misalnya upacara kemiliteran atau formal non-militer, upacara peribadatan atau pun sebuah pesta dan pasar malam. Konsep yang sama juga ada di mancanegara meski berbeda pemintakatannya, yang disebut sebagai plaza atau townsquare.

Warga merasa memiliki alun-alun karena di situlah pusat informasi, pusat keramaian, pusat acara-acara besar, tempat bermain yang luas, bazaar, bahkan hingga malam hari bermain di bawah terangnya bulan dengan perasaan nyaman. Tak lupa alun-alun juga adalah sebuah citra kota.

Sebelum ada konsep kotamadya, semua kota disebut sebagai kabupaten, karena dipimpin oleh seorang bupati. Begitu juga alun-alun kota Bandung ini, berada di depan kantor Bupati Bandung. Cukup tragis ketika kantor Bupati Kabupaten Bandung dipindahkan ke Soreang. Yang mendirikan Bandung (beberapa bulan sebelum Daendels juga mendirikan pusat pemerintahan kolonialnya) justru yang diusir dari lokasi sejarahnya. Kita lupa bahwa orang-orang yang layak disebut orang Bandung asli adalah mereka yang lahir dan tumbuh di Cililin, Soreang, Dayeuhkolot, Banjaran, Majalaya, Bale Endah, Ciparay, Pangalengan, Cicalengka dsb. Kota Bandung sendiri hanyalah kota baru yang banyak diisi pendatang.

Balaikota Bandung yang diapit jalan Wastukancana, Aceh dan Merdeka tak bisa memberikan konsep yang sama seperti alun-alun Bandung. Meski taman balaikota yang bersih dan rindang juga tak boleh kita abaikan sebagai taman yang menjadi hak warganya. Dalam konteks arsitektur, Kotamadya Bandung telah korup terhadap sejarah Kabupaten Bandung.

Saat berada di kota lain, biasanya saya tak lupa menyempatkan menikmati alun-alun kota tersebut. Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Kebumen, Yogyakarta, Malang dan Makassar adalah kota-kota yang pernah saya singgahi dan nikmati suasana alun-alunnya. Selalu ada senyum saat melihat banyak orang bermain, duduk-duduk dan berlari-lari menikmati senja dan temaramnya malam.

Selama bertahun-tahun alun-alun Bandung ditutup karena proyek pengembangan masjidnya yang berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung yang diresmikan selesai pembangunannya pertengahan tahun 2003 yang lalu. Empat tahun lebih alun-alun Bandung hilang dari pandangan. Mungkin pula orang-orang sudah melupakannya.

Beberapa bulan yang lalu alun-alun Bandung dibuka kembali, dengan wajah barunya yang jauh lebih menarik, lebih bersih dan masih nyaman, meski tak senyaman suasana tempo dulu. Anda merasa tak nyaman menikmati alun-alun (atau lapangan Tegallega dan Gasibu)? Mungkin anda belum menjiwai hak anda sebagai warga kota, atau memang pemerintahan kota belum berhasil memberikan kenyamanan kepada warganya.

Selamat datang kembali alun-alun Bandung!

yulian firdaus
Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810.

tentang bandung

Ada banyak yang bercerita tentang kota Bandung. Tentang kotanya, tentang makanannya, tentang keramahannya, tentang panas, dingin dan sejuknya, tentang kemacetannya, tentang PERSIB-nya, tentang musiknya, tentang sampahnya, tentang pengharapan warganya… tentang segalanya.

Sebagai warga Bandung, secara langsung atau jauh lebih banyak secara tak langsung, sering juga malah teu nyambung. Satu konteks yang tak pernah lepas dari pikiran adalah tentang wilayah Bandung itu sendiri. Kata ‘Bandung’ kini semakin menyempit sebagai ‘Kotamadya Bandung’ saja, walau sebenarnya secara fisik wilayah kotamadya sudah meluas sudah sejak lama (melebar ke arah timur). ‘Bandung Raya’ sebagai wilayah yang meliputi administratif Kotamadya Bandung, Kotamadya Cimahi dan Kabupaten Bandung.

Penyempitan arti itu sendiri sebenarnya akibat warga Bandung sendiri, bukan warga kota lain. Misalnya dulu, masih di wilayah kotamadya, sering terdengar orang berbicara, “Bade ameng ka Bandung heula, ah” yang artinya, “Mau main ke Bandung dulu, ah”. Padahal di KTP mereka jelas tertulis KOTAMADYA BANDUNG. Apalagi bagi mereka yang jelas tinggal di wilayah kabupaten, ‘Bandung’ adalah Kotamadya Bandung, dan kerap –lebih senang– menyebut dirinya seperti “aing mah urang Cicalengka”, Ciparay, Cililin, Pangalengan, Ciwidey, Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Soreang dan lain-lainnya.

Konteks kedua yang melekat pada Bandung adalah etnis Sunda, peradaban, budaya dan orang-orangnya, karena kata ‘Bandung’ dan ‘Sunda’ hampir selalu saling berasosiasi. Sebagai warga Bandung, apalagi juga keturunan orang Sunda, cukup getir melihat pemakaian Bahasa Sunda semakin berkurang akhir-akhir ini. Suwer, anak kecil ngomong berbahasa Sunda itu lebih menggugah daripada berbahasa Indonesia. Lagipula orang tua tak perlu mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya, biarkan sekolah yang mengajarkan mereka.

Jadi, Bandung mana yang anda cakupi?

Setiap kota mempunyai sejarahnya masing-masing. Sejarah modern tak lepas dari sejarah dan peradaban masa silam, terutama secara umum tentang sejarah Sunda itu sendiri. Dalam konteks kecil, nama sebuah tempat pun bisa mempunyai silsilahnya sendiri.

Cerita tentang Bandung tentunya tak lepas dari orang-orang serta peristiwanya. Siapa lagi kalau bukan para tokoh atau para pahlawan yang berjasa untuk hal tersebut. Ada Si Jalak Harupat Rd. Oto Iskandar di Nata, ada Rd. Dewi Sartika, Ibu Inggit Garnasih atau Mohamad Toha. Di bidang seni kita mengenal Mang Udjo dengan padepokan angklungnya atau Harry Roesli, Doel Sumbang, Elfa’s yang cukup kental mewarnai pertumbuhan musik di kota ini.

Bandung Lautan Api masih tetap menjadi jargon penyemangat warga, termasuk bobotoh PERSIB yang sering menyanyikannya dengan sedikit perubahan menjadi “sekarang telah menjadi lautan BIRU”.

Di bidang pers, kota Bandung tak lepas dari perjuangan Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional. Kisah perjuangannya digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam karya Tetralogi Buru.

Ruang-ruang terbuka adalah fasilitas umum kota yang harus ada. Bandung punya alun-alun kota, lapangan Gasibu dan lapangan Tegallega. Tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan wajah Bandung tempo dulu di kota yang dilingkung ku gunung ini.

Wisata alam, terutama alam pegunungan, menjadi satu daya tarik wisata, baik bagi warganya maupun dari turis-turis domestik. Ada kawah Tangkubanparahu, hutan Jayagiri, hutan Pakar-Maribaya, Situ Lembang yang sepi kurang terkunjungi, Situ Ciburuy yang katanya sudah tak jernih dan semakin surut, Situ Aksan yang sudah menghilang kering tinggal monumen, Kawah Putih, Ranca Upas serta Situ Patengan dan Batu Cinta-nya yang terpadu sebagai wisata alam Bandung Selatan, serta Situ Cileunca di Pangalengan.

Tak hanya alam di bumi, anda pun bisa berwisata memandang luar angkasa di Observatorium Bosscha.

Soal makanan, jelas Bandung punya segudang makanan enak. Dari yang jajanan pasar sederhana hingga ke olahan modern. Tempat makan enak pun tak terhitung banyaknya, dari yang bersebelahan dengan tempat sampah hingga kelas restoran, semua ada, sampai saya tak tahu harus menuliskannya seperti apa. Hanya satu-dua cerita, seperti Warung Indung misalnya.

yulian firdaus

bandoeng tempo doeloe

Kota Bandung tidak berdiri bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung. Kota itu dibangun dengan tenggang waktu sangat jauh setelah Kabupaten Bandung berdiri. Kabupaten Bandung dibentuk pada sekitar pertengahan abad ke-17 Masehi, dengan Bupati pertama tumenggung Wiraangunangun. Beliau memerintah Kabupaten Bandung hingga tahun 1681.

Semula Ibukota Kabupaten Bandung terletak di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) kira-kira 11 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Bandung sekarang. Ketika kabupaten Bandung dipimpin oleh bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794-1829) yang dijuluki "Dalem Kaum I", kekuasaan di Nusantara beralih dari Kompeni ke Pemerintahan Hindia Belanda, dengan gubernur jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811). Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa timur (kira-kira 1000 km). Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan bupati daerah masing-masing. groote postwegDi daerah Bandung khususnya dan daerah Priangan umumnya, Jalan Raya pos mulai dibangun pertengahan tahun 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman - Jalan Asia Afrika - Jalan A. Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya.

Untuk kelancaran pembangunan jalan raya, dan agar pejabat pemerintah kolonial mudah mendatangi kantor bupati, Daendels melalui surat tanggal 25 Mei 1810 meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos. Rupanya Daendels tidak mengetahui, bahwa jauh sebelum surat itu keluar, bupati Bandung sudahdaendles merencanakan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Bandung, bahkan telah menemukan tempat yang cukup baik dan strategis bagi pusat pemerintahan. Tempat yang dipilih adalah lahan kosong berupa hutan, terletak di tepi barat Sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang sedang dibangun (pusat kota Bandung sekarang).

Alasan pemindahan ibukota itu antara lain, Krapyak tidak strategis sebagai ibukota pemerintahan, karena terletak di sisi selatan daerah Bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan. Sekitar akhir tahun 1808 awal tahun 1809, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekati lahan bakal ibukota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampung Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang). Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Wiratakusumah-IIAkan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810.
persib-bandung.or.id